Selasa, 03 Agustus 2010

Perlu Kajian Mendalam Untuk Mencari Pengganti Jakarta Wakil Ketua MPR: Saat Tepat Buat Mengkaji

JAKARTA - Wacana pemindahan ibu kota negara semakin serius dibicarakan di parlemen. Setelah Ketua DPR Marzuki Alie menyatakan setuju ibu kota dipindah ke Palangkaraya, kemarin (2/8) giliran Wakil Ketua MPR Hajrianto Tohari mendesak realisasi pemindahan pusat roda pemerintahan.
Dukungan mencari pengganti Jakarta sebagi pusat pemerintahan itu disampaikan Hajrianto dalam diskusi bertema pemindahan ibu kota negara di gedung MPR/DPR. Dalam diskusi tersebut, hadir pula anggota DPD asal Kalteng Hamdani dan peneliti LIPI Siti Zuhro.
Menurut Hajrianto, perlu kajian mendalam untuk mencari pengganti Jakarta yang sudah tak layak menjadi pusat pemerintahan. Dia berharap ide tersebut direspons serius oleh pemerintah dengan melakukan kajian yang bersifat interdisipliner.
Dari kajian itu, akan lahir naskah akademis sebagai dasar pengajuan RUU Pemindahan Ibu Kota. Di dalamnya akan memuat keputusan untuk memindahkan ibu kota yang dilengkap time schedule. ''Sekarang ini kesempatan yang baik bagi DPR dan pemerintah untuk membuat draf RUU tersebut,'' tegas politikus Golkar tersebut.
Hajrianto juga berharap ide memindahkan ibu kota negara tidak disikapi negatif. Apalagi kalau argumentasinya hanya terkait besarnya anggaran yang dibutuhkan. ''Ini sebuah reduksi terhadap persoalan yang begitu kompleks,'' katanya.
Dia menegaskan, persoalan anggaran bisa dipecahkan dengan pemindahan ibu kota dalam tahap yang panjang dan berangsur-angsur.
Sejak awal, kata dia, Jakarta memang tidak ideal menjadi ibu kota negara. Karena itu, sejak era kemerdekaan, Bung Karno memunculkan wacana pemindahan ibu kota ke Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Pada era Orba, muncul usul lokasi lain, yakni Jonggol, Bogor. ''Itu menimbulkan banyak spekulasi dari pemilik modal. Akibatnya, harga tanah di Jonggol sempat melejit,'' ungkap Hajrianto.
Sayangnya, kata dia, wacana pemindahan ibu kota masih muncul secara sporadis dan emosional. Biasanya berangkat dari kejengkelan terhadap karut-marut dan kemacetan luar biasa di Jakarta. ''Harus segera dimulai pengkajian yang lebih dalam dan bersifat multidimensional,'' ujarnya.
Dia mengakui, secara objektif, Jakarta memang sudah tidak memadai untuk menjadi ibu kota negara. ''Jakarta ini the big village. Secara objektif, saya yakin tidak ada silang sengketa. Ke depan, untuk pusat bisnis, Jakarta masih memadai, seperti Bombay, India, dan Montreal, Kanada,'' katanya.
Hamdani, senator asal Kalteng, mengungkapkan, Palangkaraya mempunyai sejumlah keunggulan strategis sebagai lokasi alternatif ibu kota negara. Secara geografis, Palangkaraya berada di tengah-tengah kawasan Sumatera-Jawa dengan timur Indonesia. Posisinya juga bersebelahan dengan Sulawesi. ''Jaraknya satu jam terbang ke Jakarta. Kira-kira sama seperti Jakarta-Surabaya,'' ujarnya.
Palangkaraya juga memiliki lahan yang luas, mencapai 2.678,51 km2. Sementara itu, Jakarta hanya 661,52 km2. Luas seluruh Kalimantan Tengah mencapai 15 juta hektare atau 1,5 kali Pulau Jawa. ''Masih banyak hutan lebat,'' beber Hamdani.
Dia mengakui, pemindahan ibu kota membutuhkan kemauan politik bersama. DPR dan pemerintah harus merevisi dulu UU No 29/2007 tentang Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibu Kota NKRI.
Hamdani juga yakin bahwa anggaran bukan hambatan. Dia menyebutkan, pengalokasian 1 persen dari APBN yang mencapai Rp 1.000 triliun per tahun sudah cukup untuk menutupi. ''Pelan tapi pasti bisa dilakukan,'' katanya.
Bagaimana dengan tesktur tanah di Kalimantan Tengah yang cenderung flat dan rawan banjir? ''Soal banjir, pasti bisa dipecahkan. Teknologi kan sudah canggih,'' jawabnya lantas tersenyum.
Peneliti LIPI Siti Zuhro menyatakan, pemindahan ibu kota harus menjadi starting point untuk menata ulang daerah dengan mengoptimalkan otonomi daerah dan desentralisasi. Salah satunya, membuka cluster-cluster ekonomi baru, sehingga tidak hanya menjadikan Jakarta sebagai kota yang ''menggoda'' bagi masyarakat.
Dia mengakui, Jakarta tidak bisa terus dipaksakan menjadi ibu kota negara karena sudah kelebihan beban dan dilemanya sangat banyak. ''Jakarta telanjur salah urus dari rezim ke rezim. Kini, kita mengharapkan ada wajah baru (ibu kota negara,Red),'' tegasnya.
Mantan anggota pansus RUU DKI Jakarta Sayuti Asyathri menyatakan kagum pada Beijing, ibu kota Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Menurut dia, Beijing mampu tampil sebagai kota yang begitu anggun dan berwibawa tanpa tempat hiburan malam dan sentra bisnis.
''Saya kira, ibu kota negara kita juga harus mengakhiri campur-aduk. Sekarang semua menumpuk di Jakarta,'' ujarnya. (bay/c5/pri)

Sumber: http://www.jawapos.com/halaman/index.php?act=detail&nid=148505
Jawa Pos [ Selasa, 03 Agustus 2010 ]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar